KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan
rahmad Allah dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Hadis 2.
Semuanya tidak lepas dari rahmar dan
rahim serta pertolongan-Nya, sehingga habatan dan kendala dapat diselesaikan
dengan lancar. Shalawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya ke
jalan yang benar dan di ridhoi-Nya.
Dalam penyusunan makalah yang berjudul “Larangan Menerima
dan Memberi Suap” ini tidak lepas dari hambatan dan rintangan, tetapi berkat
bantuan dari berbagai pihak beban yang berat itu dapat teratasi. Oleh karena
itu ucapan terima kasih kepada semua
pihak. Dan kami mengharapkan keritik dan saran dalam makalah yang kami susun,
agar kedepannya menjadi lebih baik.
Surabaya,
2 April 2013
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah suap
menyuap akhir-akhir ini sangat ngetren dikalangan masyarakat. Namun bukan
berkaitan dengan nasi yang dimasukkan dalam mulut, tapi suap-menyuap yang
menyebabkan sejumlah orang yang harus berurusan dengan pihak yang berwajib.
Bahkan sejumlah orang ditengarai masuk dalam antrean untuk diperiksa oleh pihak
berwajib yang disebabkan oleh suap-menyuap.
Dalam kamus
bahasa indonesia suap ialah kata yang ditenggari oleh perbincangan atau uang
sogok. Akan tetapi pada umumnya disebut dengan uang pelicin. Uang pelicin pada
umumnya digunakan untuk memuluskan jalan dari berbagai hal, agar segala sesuatu
yang dianggap hambatan dapat teratasi sesuai dengan harapan sang penyuap. Tidak
ada suap atau pelicin yang disandingkan dengan sesuatu yang baik, selalu ada
sesuatu yang tidak beres didalamnya. Seseorang melakukan suap karena memang ia
tidak beres dan harus berhadapan dengan hukum, ia juga tidak mungkin menyuap
jika tidak ada keinginan mendapatkan imbalan dari sogokan yang diberikannya.
Setiap profesi
memiliki suatu resiko untuk terjebak dalam dunia suap-menyuap, sebab batas
antara kekuatan iman dan terjerumus kedalam suatu godaan hanyalah setipis kulit
bawang. Manusia bukan malaikat yang tidak membutuhkan materi, manusia ialah
makhluk penggoda dan gampang tuk tergoda. Terkadang tidak menyadari akibat
ketergodaannya yang menimbulkan kerugian yang tidak terkira bagi dirinya dan
sesamanya.
B. RUMUSAN MASALAH.
1.
Apa
pengertian suap menyuap / Risywah ?
2. Apa hadist
tentang orang yang menyuap dan yang menerima suap?
3.
Apa saja macam – macam suap
menyuap /Risywah?
4. Apa perbedaan suap dan gratifikasi?
5. Bagaimana
hukum hadiah dan suap-menyuap?
6. Apa saja yang mempengaruhi perilaku suap menyuap?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengeahui pengertian suap menyuap.
2. Mengetahui hadist tentang orang yang menyuap dan yang menerima
suap.
3. Mengetahui macam – macam suap menyuap / Risywah.
4. Mengetahui
perbedaan suap dan gratifikasi
5. Mengetahui bagaimana hukum hadiah dan suap menyuap.
6. Mengetahui apa saja yang mempengaruhi perilaku suap menyuap.
7.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUAP MENYUAP.
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi
uang pelicin. Adapun dalam bahasa arabnya disebut dengan risywah. Suap yang dalam bahasa arabnya risywah
merupakan sebuah problema umat Islam saat ini. Secara etimologi risywah
terambil dari kata رشا yang artinya menurut Ibn Faris Ibn Zakariyah (menunjukkan
sebab sesuatu menjadikan ia ringan dan lunak), apabila dikatakan artinya.
Menurutnya Ibn Atsir, rasywah artinya tali (al-habl) yang dibentangkan untuk
menimba air di sumur. Dari makna ini dapat dikatakan bahwa dengan adanya
pemberian sesuatu kepada orang lain diharapkan dapat memudahkan urusannya atau
dengan adanya tali maka air akan mudah ditimba sehinga sampai kepada maksud
yang dituju.
Sementara, secara terminologi menurut Abdullah Ibn
Abdul Muhsin risywah ialah sesuatu yang diberikan kepada hakim atau
orang yang mempunyai wewenang memutuskan sesuatu supaya orang yang memberi
mendapatkan kepastian hukum atau mendapatkan keinginannya. Menurut Ali Ibn
Muhammad al-Sayydi a-Sarif al-Jurjani, risywah ialah suatu pemberian
kepada seseorang untuk membatalkan suatu yang hak dan membenarkan yang batil. Risywah
juga dipahami oleh ulama sebagai pemberian sesuatu yang menjadi alat bujukan
untuk mencapai tujuan tertentu. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa risywah
adalah pemberian kepada orang lain yang mengandung unsur pamrih yang bertujuan
membatalkan yang halal dan atau membenarkan yang batil dan ia dijadikan alat
bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.
Gratifikasi adalah pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Contoh kasus gratifikasi
Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan.
B. HADIST TENTANG ORANG YANG MENYUAP DAN YANG MENERIMA
SUAP
عن أبى
هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لعنت الله على الرشى
والمرتشى فى الحكم . رواه . أحمد وأبو داود والترمذى .
“Dari
Abu Hurairah r.a., beliau berkata: Rasulullah saw, bersabda: kutukan Allah
menimpa atas orang yang menyuap dan orang yang menerima suap dalam hukum.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).[1]
عن
عبدالله بن عمرو رضى الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لعنت
الله على الرشى والمرتشى . رواه الخمسة إلا النسائى وصححه الترمذى .
“Dari
Abdullah bin Amru r.a., beliau berkata: Rasulullah saw, bersabda: kutukan Allah
menimpa atas orang yang menyuap dan yang menerima suap.”
(Diriwayatkan oleh Al-Khamsah
(lima perawi) selain An-Nasa’i dan dinilai sahih oleh At-Tirmidzi).[2]
C. MACAM MACAM SUAP
MENYUAP / RISYWAH.
Ibn Abidin, dengan menguti kitab al-Fath, mengemukakan
empat macam bentuk risywah, yaitu:
- Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
- Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
- Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Sebagai helah risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah kazaliman. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan kezaliman dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
- Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.
D. PERBEDAAN
SUAP DAN GRATIFIKASI
Definisi dari keduanya juga
berbeda, Suap mengandung definisi “ Barangsiapa menerima sesuatu atau janji,
sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana
penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).” sedangkan
Gratifikasi Mengandung Definisi “ Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor).
E. HUKUM HADIAH DAN SUAP MENYUAP
1)
Hukum
Hadiah
Memberikan hadiah adalah
sunnah, dianjurkan dalam syari’at Islam, walaupun sedikit. Dari Abu Hurairah
r.a dari Rasulullah SAW bersabda:
يَا
نِسَاءَ المُسْلِمَا تِ لَاتَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْفِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslim,
janganlah seorang tetangga menghina tetangganya yang lain, walaupun (hadiah
yang diberikan hanya berbentuk) firsina syat.”
Dan banyak nash yang
menyebutkan tentang keutamaan hadiah, diantaranya:
Dari Abu Hurairah r.a dari
Rasulullah SAW bersabda:
تَهَادَوْا
تَحَابُّوْا
“saling memberi hadiahlah
kalian pasti kalian akan saling mencintai.”
Dan dalil ijma’ pun
menunjukkan sunnahnya hukum memberi hadiah tersebut.
Karena pengaruh dan arti
sosialnya yang sangat baik, maka itu berguna untuk membantu orang yang diberi,
dan dapat menghilangkan kekikiran dari diri orang yang memberi. Hadiah adalah
sarana untuk menghormati, seperti: hadiah kepada orang tua, orang yang berilmu;
dan juga untuk beramah-tamah, serta menimbulkan kecintaan, seperti: hadiah
kepada istri, kerabat, teman, dan tetangga; juga untuk membalas kebaikan atau
dapat mencegah kemudharatan sifat egois terhadap tugas yang bukab merupakan
wewenang dan tanggung jawab.
Segala hal tersebut
dianjurkan dalam syari’at Islam, dan merupakan tujuannya yang sangat agung,
serta metode yang mantap dalam mempersatukan hati umat yang telah Allah
anugerahkan ketentraman. Allah berfirman:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ
أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ
اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٦٣)
“dan yang mempersatukan hati
mereka, walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang ada di bumi, niscaya
kamu tidak akan bisa mempersatukan hati mereka, tetapi Allah-lah yang telah
mempersatukan hati mereka, sesungguhnya Dia maha perkasa lagi maha
bijaksana.”(Al-Anfal: 63)
Dan hadiah adalah cara untuk
saling dekat karena dapat menumbuhkan rasa kecintaan diantara sesama orang yang
telah memberikan hadiah, juga dapat merekat hubungan diantara mereka apabila
telah saling berjauhan, dan menumbuhkan rasa kecintaan diantara sesama kaum
muslimin apabila ada jarak diantara sesama mereka, jalan untuk ketentraman dan
kebahagiaan mereka di dunia dan jalan kemenangan mereka untuk mendapatkan surga
di akhirat. Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:
لَا
تَدْخُلُوا اْلجَنَّةَ حَتّى تُؤْمِنُوْا, وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتّى تَحَابُّوْا,
اَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ اِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَا بَبْتُمْ ؟
أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian
tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman
(sempurna) sampai kalian saling mencintai. Inginkah kalian kuberitahukan
sesuatu yang apabila kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah
salam diantara sesama kalian.”
Kalau sekedar mengucapkan
salam saja dapat memberikan pengaruh seperti ini, sementara salam hanya sekedar
kata-kata, tentunya hadiah dengan harta juga dapat berpengaruh seperti itu atau
lebih.
Memberikan hadiah dapat
menumbuhkan kegembiraan dihati orang yang memberikannya. Al-Kattabi berkata:
“menerima hadiah bagi Rasulullah SAW merupakan suatu penghormatan dan bagian
dari akhlak mulia, yang dengannya dapat merekatkan hubungan hati. Dan memakan
hadiah merupakan syi’ar serta kekhususannya. Bahkan diceritakan pada kitab-kitab
terdahulu bahwa beliau (Rasulullah SAW) menerima hadiah.
Maka disunnahkan menerima
hadiah tersebut dan makruh hukum menolaknya.
لَاتَرُدُّوْا
الْهَدِيَّة
“Janganlah kalian menolak
hadiah.” (Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu).
Hadiah juga dapat dimiliki
dan boleh untuk dimanfaatkan. Allah berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَرِيئًا (٤)
“berikanlah mas kawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh dengan kerelaan.
Kemudian jika menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (An-Nisa’: 4)
Di dalam ayat tersebut ada
dalil yang menerangkan bolehnya menerima hadiah. Allah memerintahkan kepada
suami untuk memakan pemberian yang diberikan oleh istri dari bagian mahar
apabila ia rela. Bahkan, hal itu disebut-Nya sebagai pemberian yang sedap dan
baik akibatnya, dan pemberian itu adalah hadiah dari istri. Maka, perintah
(dari Allah untuk boleh memakan) dan keterangan (bahwa itu adalh pemberian yang
sedap dan baik akibatnya) adalah merupakan alasan paling kuat untuk menyatakan
bolehnya menerima hadiah.
Dan dilarang untuk menerima
hadiah apabila berlawanan dengan tujuan syari’at, karena “tujuan” sangat
dipandang atau dipertimbangkan dalam bentuk-bentuk akad.
Apabila hadiah itu diberikan
tidak dengan kerelaan hati, maka wajib ditolak. Sebagaimana diriwayatkan dari
Anas r.a, Rasulullah SAW bersabda:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِيءٍ مُسْلِمٍ اِلَّا بِطِيْبِ نَفْسِهِ
“Tidak halal harta seorang
muslim, kecuali dengan kerelaan hati.”
Atau apabila hadiah itu
termasuk dalam bentuk hadiah yang tidak halal untuk diambil.
Dan boleh untuk ditolak,
apabila si pemberinya adalah orang yang suka menyebut-nyebut pemberian, sebagai
antisipasi terhadap kebiasaannya itu.
Dan disunnahkan pula untuk
membalas hadiah yang diberikan walaupun dengan sesuatu yang lebih kecil.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a beliau berkata: “Rasulullah SAW biasa menerima
hadiah kemudian membalasnya.
Dan diriwayatkan dari Ibnu
Umar r.a, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
اُهْدِيَ اِلَيْكُمْ فَكَا فِئُوْهُ, فَاِنْ لَمْ تَجِدُوْا مَا تُكَا فِئُوْنَهُ,
فَادْعُوْالَهُ حَتَّى تَرَوْنَ أَنْ قَدْ كَا فَأْتُمُوْهُ
“Barang
siapa diberi hadiah, maka balaslah, kalau kalian tidak punya sesuatu untuk
membalasinya maka do’akanlah untuknya sampai kalian merasa membalasinya.”
Dan yang lebih baik
membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik atau dengan sesuatu yang serupa. Dan
benar apa yang difirmankan Allah SWT:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ
فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ حَسِيبًا (٨٦)
“Apabila kamu dihormati
dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih
baik atau dengan yang setimpal, sesungguknya Allah memperhitungkan segala
sesuatu.”(An-Nisa’: 86)
2)
Hukum
Suap-Menyuap
Memberi dan menerima suap
adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan hadits Nabi, serta ijma’.
Ditinjau menurut Al-Qur’an. Allah
berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا
فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)
“Dan janganlah sebagian dari
kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil
dan janganlah kamu memberi urusan harta itu kepda hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat
dosa, padahal kamu mengetahui.”(Al-Baqarah: 188)
Dalam ayat diatas, ada
larangan untuk memakan harta dengan cara bathil walaupun diberikan dengan
sukarela oleh pemberinya seperti suap.
Al-Baghawi berkata, “Artinya
(ayat di atas tadi), jangan kalian berikan harta itu kepada hakim dengan cara
suap agar dia mengubah hukum untuk kalian.”
Adapun hasil dari sunnah,
diriwayatkan dari Syauban r.a, beliau berkata: “Rasulullah SAW melaknat tukang
beri suap, menerima suap, dan menjadi perantara diantaranya.”
Dalam hadits di atas
mengandung keterangan bahwa suap adalah bagian dari dosa besar, karena laknat
yang berarti diusir dari rahmat Allah hanya berlaku untuk dosa besar. Dan
laknat itu mencakup seluruh komponen yang terlibat dalam suap, yaitu: pemberi,
penerima, dan perantara di antara keduanya.
Dan para ulama telah berijma’
untuk menyatakan haramnya suap secara umum, karena banyaknya nash yang melarang
dan memperingatkan, dan bahayanya dalam kehidupan individu dan masyarakat,
serta pengrusakan di atas muka bumi.
F.
APA SAJA YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SUAP MENYUAP
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN.
B. SARAN
Komentar
Posting Komentar